SEPATU
Hayatun
Nufus
“Mak, aku tidak punya sepatu.”
“Nak, Mak tidak punya beras.”
Muka Mak pucat,
Mak jadi mayat hidup karena tidak punya beras. Mak masuk ke kamar, masih pagi,
aku tidak makan lagi.
“Berangkatlah Nak, pagi sudah
tinggi.”
“Aku tidak punya sepatu Mak.”
“Pakailah yang biasa kau pakai.”
“Lelaki itu menggunakannya untuk
mengusir anjing.”
Muka Mak tambah
pucat. Mak masuk ke kamar, sampai tengah hari dia tidak akan keluar, aku makan
ubi karet lagi.
Aku masuk kamar, aku mau cari sepatu
di kantung lelaki itu, aku lihat bidadari memeluk anjing..
“Anjing kau!”
Telunjuk lelaki
itu mengarah ke mukaku. Aku anak anjing. Mak mengandung anjing 11 tahun yang
lalu.
“Anjing.. anjing.. belikan aku
sepatu!”
Lelaki itu
menghampiriku, plakk. lakk Aku ditamparnya dua kali di muka, aku diam ku
tantang matanya. Sekali lagi ku katakana,
“Anjing.. belikan aku sepatu!”
Mak yang
bidadari tergopoh-gopoh meghampiriku, telanjang. Bidadari itu pasang badan
membekap tubuhku erat. Kami berdua diinjak-injak anjing.
Sejak Mak bawa lelaki itu kerumah,
Mak yang bidadari, Mak yang janda, Mak yang telanjang. Buat apa Mak lelaki itu
ada di rumahn kita, Mak telah bunuh monyet demi ruangan si anjing, Mak tidak bunuh
aku juga? Mak menangis disisirnya rambut mayangku.
“Anakku Ning yang cantik, rambut
ikal mayang… anakku Ning yang manis, kulit sawo matang.. anakku Ning yang
malang…”
*
“Karina
Ayu Ningtyas..”
“ya
saya..”
“Selamat anda lolos seleksi beasiswa S2
UNIEROPA di Université
Paris-Dauphine
MSc in Management
of Information Systems.”
Setelah entah berapa puluh makalah kukirimkan, aku sampai
pada fase ini ada tiga orang penguji di ruang putih itu, si pirang berambut
sebahu, cantik. Ada dua lelaki yang berperawakan tambun, berkaca mata tebal,
yang berkemeja biru mengaku staff ahli presiden bidang komunikasi bergelar
professor lulusan Columbia University, yang satunya berkemeja putih lebih
santun, dia tidak menyebutkan gelar, dia hanya bilang saya pernah kuliah di Sam
Ratulangi. Makalah setebal 42 halaman saya diujikan, si pirang tidak bisa
bahasa Indonesia, aku mati-matian untuk tidak berbahasa Inggris. Aku Indonesia,
Aku Indonesia. Tapi ini beasiswa unieropa nona dan aku menyerah untuk tidak
berbahasa Indonesia.
*
“Ning, merantaulah!”
“Aku baru 12 tahun Mak.”
“Ikut mamangmu ke kota, jadi apa
saja, asal jangan jadi anjing.”
“Mak…”
“Pergilah Ning..”
“Sendirian sajakah Mak menghadapi
anjing?”
“Ning...”
“Mak..”
Di kota aku tidak jadi anjing, hanya
mirip mungkin. mamangku bukan germo. Lugu dan dungu, kami jadi kuli, kami jadi
babu, tapi kami tidak pernah jadi anjing.
Aku sekolah SMP sampai tamat, aku
sekolah di SMA terbuka bayarannya murah tapi aku harus kerja, menguras kolam,
mencuci piring, menyapu halaman. mamang masih jadi kuli, kurang makan, gaji
sedikit harus disisihkan buat anak bini di kampung. Aku tidak kirim uang, aku
tidak punya anak bini, tapi aku punya Mak, tapi Mak tidak ingin dikirimi uang
meski anjingnya butuh makan, butuh mabuk, butuh liang lain selain punya Mak,
tapi Mak tidak suka uangku, Mak sayang setengah mati tulus kepadaku.
SMA terbuka, malam sekolah, siang
membabu, sore kerja bakti. Aku tidak punya waktu meremaja, menjadi normal
dengan kongko-kongko, gossip-gosip, belanja-belanja, aku manusia yang tidak
pandai bersosialisasi, aku cuma tau cara menyenangkan orang yang memberiku makan.
Aku membabu tak suka bicara cuma tau kerja, fikiranku sudah penuh dengan Mak
dan anjingnya. Keluarga ini cuma ada Kakek cerewet yang berak kencing
sembarangan, mukanya tidak simetris, struk membuatnya manjadi sangat
menyebalkan. Dan putranya perjaka lapuk yang memiliki kelainan seksual, homo
kita menyebutnya. homo nanggung yang tidak bisa main dengan perempuan tapi juga
takut main dengan laki-laki. Tiap hari aku mengurusi kakek cerewet,
memandikannya, membersihkan tahinya. Lalu si homo, perjaka lapuk dengan
disfungsi seksual, mungkin dia psikopat. Aku jarang melihatnya keluar dari
kamar. Aku cukup menaruh makanan di depan pintu kamarnya. Dia melarangku
membersihkan kamarnya. Mungkin prabot di dalamnya seluruhnya berwarna pink,
mungkin ada gambar laki-laki telanjang di dindingnya, mungkin ada replika
kelamin laki-laki entahlah. Mengapa aku begitu yakin laki-laki itu homo? Haha
tidak ada alasan untuk tidak mengatakan pria tampan tidak punya pasangan
diusianya yang hampir 40 selain orang itu pasti homo. Sepertinya kakek tua itu
tidak punya anak lagi selain si homo, untung sebagai bekas pegawai bank si
kakek punya jaminan hari tua untuk menghidupinya dan si homo, menegenai istri
entahlah mungkin sudah mati atau kabur
dengan laki-laki lain.
*
“Mak dimana nanti aku tinggal?”
“Dimana saja mamangmu tinggal!”
“Mak Jakarta itu kejam kata bu
guru.”
“bu gurumu itu tidak tau apa-soal
Jakarta.”
“apa Mak tau tentang Jakarta?”
“Mak tidak tau tapi Mak yakin
Jakarta akan baik padamu, anak manis.”
“Mak jika aku tidak kembali
bagaimana?”
“kau akan kembali pasti kembali
untuk menjemput Mak.”
“Mak bagaimana kalau aku jadi
anjing?”
“…..!”
Dengan mobil pengangkut sayur kutinggalkan Tasik pagi itu,
Tasik yang tenang alamnya, tenang dahannya, tenang bunga-bunganya.
*
“Mamang, aku memutuskan melanjutkan
kuliah di Makassar.”
“darimana kau punya uang?”
“Dari si homo.”
Ketika aku kecil dan sangat miskin, aku tidak pernah
memikirkan kuliah, sekolah sampai jenjang SMA pun tidak, sekolah dasar bagiku
bagi Mak adalah sangat cukup, cukup untuk membaca agar aku tidak sembarangan
menandatangani surat cerai. Dan di depanku kini samudera nan luas membentang,
menunggu ku taklukkan. Ah si homo, orang yang selalu kujadikan olok-olokkan
dalam hati yang dalam imajinasiku memiliki prabot berwarna pink dan sebagainya.
Memberiku uang, segepok uang seratusan ribuan banyak jumlahnya, katanya
pergilah ke Makassar, kuliahlah cari ilmu yang banyak, kenapa ke Makkasar, kau
akan tau setelah menyebrang laut bahwa Indonesia itu luas, pergilah berhentilah
jadi babu. Kau merdeka. Aku membatin, dan kau tetap terpenjara kan?
Kematian
kakek cerewet meninggalkan uang asuransi yang banyak untuk si homo, mungkin ia
akan mengecat seluruh rumah berwarna pink, membeli prabot dan replika kelamin
baru. Aku tidak perduli, ahhh tidak, aku perduli dengan laki-laki itu. Kulit
terawatnya, alis tebal dan lesung pipinya aku perduli. Demi tuhan aku perduli.
Siapa yang akan memberinya makan? 6 tahun…
*
“Ning, Mak
mau menikah lagi, kau akan punya ayah.”
“Apa dia akan
baik padaku Mak?”
“Ya pasti,
dia akan membelikanmu baju baru.”
“Itu
berarti kita akan ke pasar?”
“Ya setiap
pagi kita akan ke pasar, membeli makanan yang enak, baju yang bagus!”
“Aku mau
banyak ayah Mak”
Mak kawin lagi, belakangan aku tau lelaki itu sudah
beristri, Mak Cuma jadi yang ketiga, itu artinya tidak ada baju baru setiap
hari. Kenyatan mulai tampak. Mak kawin dengan anjing.
*
Jakarta 7
tahun sudah kutinggalkan, aku kangen si homo. Uang warisannya sudah jadi toga
sekarang. Aku ingin menemuinya, mungkin dia sudah sedikit renta sekarang,
hampir 50 tapi aku masih kencang.
Rumah itu
kini bercat hijau bukan pink, gerbangnya terbuka, kijang innova terparkir
anggun disana. Kuucapkan salam, si homo keluar dan mengekor lelaki kekar. Aku
tidak begitu kaget karena hal seperti ini sering kupikirkan. Tapi menyusul dua
orang anak kecil kembar dan wanita
cantik. Siapa mereka? Apa kepentingan mereka di rumah si homo?
Aku masih
ingat Mak sering membuatkanku bubur sumsum dengan gula merah saat kusakit, aku
ingin bubur sumsum buatan Mak, bubur sumsum yang rasanya sangat enak sebelum
Mak mengawini anjing. Aku akan kuliah di Paris.
***
Tangerang 5 November 2011
HAYATUN NUFUS
bagus, namun menggantung, akan kemana kita membawanya?
BalasHapus