Halaman

Kamis, 17 November 2011

Sepatu (2nd Winner of Gebyar Media 2011)


SEPATU
Hayatun Nufus

            “Mak, aku tidak punya sepatu.”
            “Nak, Mak tidak punya beras.”
Muka Mak pucat, Mak jadi mayat hidup karena tidak punya beras. Mak masuk ke kamar, masih pagi, aku tidak makan lagi.
            “Berangkatlah Nak, pagi sudah tinggi.”
            “Aku tidak punya sepatu Mak.”
            “Pakailah yang biasa kau pakai.”
            “Lelaki itu menggunakannya untuk mengusir anjing.”
Muka Mak tambah pucat. Mak masuk ke kamar, sampai tengah hari dia tidak akan keluar, aku makan ubi karet lagi.
            Aku masuk kamar, aku mau cari sepatu di kantung lelaki itu, aku lihat bidadari memeluk anjing..
            “Anjing kau!”
Telunjuk lelaki itu mengarah ke mukaku. Aku anak anjing. Mak mengandung anjing 11 tahun yang lalu.
            “Anjing.. anjing.. belikan aku sepatu!”
Lelaki itu menghampiriku, plakk. lakk Aku ditamparnya dua kali di muka, aku diam ku tantang matanya. Sekali lagi ku katakana,
            “Anjing.. belikan aku sepatu!”
Mak yang bidadari tergopoh-gopoh meghampiriku, telanjang. Bidadari itu pasang badan membekap tubuhku erat. Kami berdua diinjak-injak anjing.
            Sejak Mak bawa lelaki itu kerumah, Mak yang bidadari, Mak yang janda, Mak yang telanjang. Buat apa Mak lelaki itu ada di rumahn kita, Mak telah bunuh monyet demi ruangan si anjing, Mak tidak bunuh aku juga? Mak menangis disisirnya rambut mayangku.
            “Anakku Ning yang cantik, rambut ikal mayang… anakku Ning yang manis, kulit sawo matang.. anakku Ning yang malang…”
*
“Karina Ayu Ningtyas..”
“ya saya..”
“Selamat anda lolos seleksi beasiswa S2 UNIEROPA di Université Paris-Dauphine MSc in Management of Information Systems.”
Setelah entah berapa puluh makalah kukirimkan, aku sampai pada fase ini ada tiga orang penguji di ruang putih itu, si pirang berambut sebahu, cantik. Ada dua lelaki yang berperawakan tambun, berkaca mata tebal, yang berkemeja biru mengaku staff ahli presiden bidang komunikasi bergelar professor lulusan Columbia University, yang satunya berkemeja putih lebih santun, dia tidak menyebutkan gelar, dia hanya bilang saya pernah kuliah di Sam Ratulangi. Makalah setebal 42 halaman saya diujikan, si pirang tidak bisa bahasa Indonesia, aku mati-matian untuk tidak berbahasa Inggris. Aku Indonesia, Aku Indonesia. Tapi ini beasiswa unieropa nona dan aku menyerah untuk tidak berbahasa Indonesia.
*

“Ning, merantaulah!”
“Aku baru 12 tahun Mak.”
“Ikut mamangmu ke kota, jadi apa saja, asal jangan jadi anjing.”
“Mak…”
“Pergilah Ning..”
“Sendirian sajakah Mak menghadapi anjing?”
“Ning...”
“Mak..”

Di kota aku tidak jadi anjing, hanya mirip mungkin. mamangku bukan germo. Lugu dan dungu, kami jadi kuli, kami jadi babu, tapi kami tidak pernah jadi anjing.
Aku sekolah SMP sampai tamat, aku sekolah di SMA terbuka bayarannya murah tapi aku harus kerja, menguras kolam, mencuci piring, menyapu halaman. mamang masih jadi kuli, kurang makan, gaji sedikit harus disisihkan buat anak bini di kampung. Aku tidak kirim uang, aku tidak punya anak bini, tapi aku punya Mak, tapi Mak tidak ingin dikirimi uang meski anjingnya butuh makan, butuh mabuk, butuh liang lain selain punya Mak, tapi Mak tidak suka uangku, Mak sayang setengah mati tulus kepadaku.
SMA terbuka, malam sekolah, siang membabu, sore kerja bakti. Aku tidak punya waktu meremaja, menjadi normal dengan kongko-kongko, gossip-gosip, belanja-belanja, aku manusia yang tidak pandai bersosialisasi, aku cuma tau cara menyenangkan orang yang memberiku makan. Aku membabu tak suka bicara cuma tau kerja, fikiranku sudah penuh dengan Mak dan anjingnya. Keluarga ini cuma ada Kakek cerewet yang berak kencing sembarangan, mukanya tidak simetris, struk membuatnya manjadi sangat menyebalkan. Dan putranya perjaka lapuk yang memiliki kelainan seksual, homo kita menyebutnya. homo nanggung yang tidak bisa main dengan perempuan tapi juga takut main dengan laki-laki. Tiap hari aku mengurusi kakek cerewet, memandikannya, membersihkan tahinya. Lalu si homo, perjaka lapuk dengan disfungsi seksual, mungkin dia psikopat. Aku jarang melihatnya keluar dari kamar. Aku cukup menaruh makanan di depan pintu kamarnya. Dia melarangku membersihkan kamarnya. Mungkin prabot di dalamnya seluruhnya berwarna pink, mungkin ada gambar laki-laki telanjang di dindingnya, mungkin ada replika kelamin laki-laki entahlah. Mengapa aku begitu yakin laki-laki itu homo? Haha tidak ada alasan untuk tidak mengatakan pria tampan tidak punya pasangan diusianya yang hampir 40 selain orang itu pasti homo. Sepertinya kakek tua itu tidak punya anak lagi selain si homo, untung sebagai bekas pegawai bank si kakek punya jaminan hari tua untuk menghidupinya dan si homo, menegenai istri entahlah mungkin sudah mati  atau kabur dengan laki-laki lain.
*
“Mak dimana nanti aku tinggal?”
“Dimana saja mamangmu tinggal!”
“Mak Jakarta itu kejam kata bu guru.”
“bu gurumu itu tidak tau apa-soal Jakarta.”
“apa Mak tau tentang Jakarta?”
“Mak tidak tau tapi Mak yakin Jakarta akan baik padamu, anak manis.”
“Mak jika aku tidak kembali bagaimana?”
“kau akan kembali pasti kembali untuk menjemput Mak.”
“Mak bagaimana kalau aku jadi anjing?”
“…..!”
Dengan mobil pengangkut sayur kutinggalkan Tasik pagi itu, Tasik yang tenang alamnya, tenang dahannya, tenang bunga-bunganya.

*
“Mamang, aku memutuskan melanjutkan kuliah di Makassar.”
“darimana kau punya uang?”
“Dari si homo.”
Ketika aku kecil dan sangat miskin, aku tidak pernah memikirkan kuliah, sekolah sampai jenjang SMA pun tidak, sekolah dasar bagiku bagi Mak adalah sangat cukup, cukup untuk membaca agar aku tidak sembarangan menandatangani surat cerai. Dan di depanku kini samudera nan luas membentang, menunggu ku taklukkan. Ah si homo, orang yang selalu kujadikan olok-olokkan dalam hati yang dalam imajinasiku memiliki prabot berwarna pink dan sebagainya. Memberiku uang, segepok uang seratusan ribuan banyak jumlahnya, katanya pergilah ke Makassar, kuliahlah cari ilmu yang banyak, kenapa ke Makkasar, kau akan tau setelah menyebrang laut bahwa Indonesia itu luas, pergilah berhentilah jadi babu. Kau merdeka. Aku membatin, dan kau tetap terpenjara kan?
            Kematian kakek cerewet meninggalkan uang asuransi yang banyak untuk si homo, mungkin ia akan mengecat seluruh rumah berwarna pink, membeli prabot dan replika kelamin baru. Aku tidak perduli, ahhh tidak, aku perduli dengan laki-laki itu. Kulit terawatnya, alis tebal dan lesung pipinya aku perduli. Demi tuhan aku perduli. Siapa yang akan memberinya makan? 6 tahun…
*
            “Ning, Mak mau menikah lagi, kau akan punya ayah.”
            “Apa dia akan baik padaku Mak?”
            “Ya pasti, dia akan membelikanmu baju baru.”
            “Itu berarti kita akan ke pasar?”
            “Ya setiap pagi kita akan ke pasar, membeli makanan yang enak, baju yang bagus!”
            “Aku mau banyak ayah Mak”
Mak kawin lagi, belakangan aku tau lelaki itu sudah beristri, Mak Cuma jadi yang ketiga, itu artinya tidak ada baju baru setiap hari. Kenyatan mulai tampak. Mak kawin dengan anjing.
*
            Jakarta 7 tahun sudah kutinggalkan, aku kangen si homo. Uang warisannya sudah jadi toga sekarang. Aku ingin menemuinya, mungkin dia sudah sedikit renta sekarang, hampir 50 tapi aku masih kencang.
            Rumah itu kini bercat hijau bukan pink, gerbangnya terbuka, kijang innova terparkir anggun disana. Kuucapkan salam, si homo keluar dan mengekor lelaki kekar. Aku tidak begitu kaget karena hal seperti ini sering kupikirkan. Tapi menyusul dua orang anak kecil kembar dan  wanita cantik. Siapa mereka? Apa kepentingan mereka di rumah si homo?
            Aku masih ingat Mak sering membuatkanku bubur sumsum dengan gula merah saat kusakit, aku ingin bubur sumsum buatan Mak, bubur sumsum yang rasanya sangat enak sebelum Mak mengawini anjing. Aku akan kuliah di Paris.
***
Tangerang 5 November 2011
HAYATUN NUFUS

           

           

1 komentar: